![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLak8RV8a1miFJ8RHefcWypX81lXm8rUDoj_iMkmzMmGZ627V0XpAq6MBIylD2KxONWRVDusYiYCsH7AKPw-qVrCIbK5Gz-EhH4B4QGKUgGuuo2Kqid2feAZ4ptvHZOLhbCf-iyFhMXZR2/s1600/teater.jpg)
Setiap revolusi akan melahirkan sikap fanatik dan ekstrem. Sikap yang ujungujungnya akan melahirkan pemerintah berkuasa yang sama diktatornya. Itulah pesan dari Mastodon dan Burung Kondor, lakon yang ditulis Rendra, si Burung Merak.
Kalimat yang dieja Rendra kemudian ditulis tangan oleh para pemain bengkel pada periode 1971–1973. Naskah yang setiap pemainnya, konon, belum mengerti jalan ceritanya sebelum kemudian dipentaskan di tiga kota pada 1973.
Setelah 38 tahun tak pernah dipentaskan lagi, naskah lama yang tentunya masih sangat aktual itu kembali dipentaskan oleh istri Rendra, Ken Zuraida yang menjelma menjadi seorang sutradara.Tak ada perubahan mencolok dari setiap jengkal kalimat yang dieja Rendra. Semuanya hampir sama persis dengan naskah aslinya.
Tapi untuk penghayatan dan cara penyampaian,jelas berbeda. Toh Ken Zuraida bukan Rendra meski keduanya sangat dekat. ”Saya tidak pernah akan bisa meniru dia. Saya bukan Rendra.Toh dia juga pasti tidak bisa meniru apa yang saya lakukan saat ini,” tegas Ken seusai geladi resik pementasan lakon Mastodon dan Burung Kondor.
Dalam pementasan lakon Mastodon dan Burung Kondor di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) 10–14 Agustus 2011 ini,Ken Zuraida memang hanya mengubah sedikit sekali naskah mendiang suaminya itu. Kira-kira hanya 1%. Sisanya sama persis. Namun, menurut Ken,ada banyak perbedaan dalam menerjemahkan naskah dengan pementasan di atas panggung.
Adalah Jose Karosta, seorang penyair—barangkali menjadi potret Rendra pada masanya—yang memiliki pengaruh kuat pada penggemarnya. Seorang mahasiswa sekaligus penyair yang selalu sadar akan dirinya dan alam di sekelilingnya.
Sebab itulah peran yang dilakoni seorang penyair sepertinya.Bukankah memang tugas penyair untuk menangkap kesadaran? Jose Karosta memiliki kesadaran penuh bahwasanya revolusi yang kala itu tengah gencar-gencarnya digulirkan oleh kawan seangkatannya hanya akan membawa persoalan baru.
Revolusi yang digulirkan oleh kaum ekstremis dan fanatik pada akhirnya justru akan menghasilkan kekuasaan baru yang sama diktatornya.Hanya akan melahirkan pemerintahan baru yang kelak akan menginjak- injak rakyat.
”Kaum ekstremis sebenarnya terpisah dari masalah masyarakat umum. Seandainya berkuasa, mereka pun akan tetap ekstrem dan akan tetap terpisah dari masalah masyarakatnya. Sebelum menang mereka bernama gerilyawan, sesudah menang mereka akan menjadi diktator,” tegas Jose dalam sebuah percakapan.
Jose yang penyair dan kritis memang terlihat seperti ”antirevolusi”. Sikap inilah yang kemudian menjadikan Juan Federico, seorang tokoh pergerakan mahasiswa sekaligus pemimpin dewan kesatuan aksi, berang. Juan membuat siasat untuk mengorbankan Jose agar pemerintahan Kolonel Max Carlos menyangka penyair inilah yang memantik revolusi.Jose lantas diculik.
Meski beberapa adegan Rendra menggunakan simbolsimbol dalam pengucapan seperti Mastodon yang ia gambarkan sebagai pemerintah hingga burung kondor yang ia gambarkan sebagai rakyat jelata, tetap saja itu mampu menerjemahkan apa yang terjadi sejak 38 tahun silam hingga sekarang.
Bagaimana rakyat yang berjuang sendirian,sementara mastodon-mastodon justru menciptakan gajah-gajah baru yang serba-mempertahankan danberanak-pinak memusnahkan alam secara lahap. Dan burung kondor makin terjepit.
Lihat saja nukilan sajak yang dibacakan Jose. Burung Kondor menjerit, /dalam marah ia menjerit, /tersingkir ke tempat-tempat yang sepi./ Burung Kondor menjerit,/di batu-batu gunung ia menjerit/ bergema di tempat yang sepi.// Burung Kondor mencakar batu-batu,/Burung kondor mematuk udara,/Dan di kota orang bersiap menembaknya. /Burung Kondor puas mendapat kegagahannya,/Tetapi bagai petapa ia terpisah dari kota// Lakon Mastodon dan Burung Kondor memang sangat fenomenal.
Naskah lama ini masih terasa sangat aktual. Sindiran-sindirian yang disampaikan, unek-unek yang diuarkan masih sama kuatnya dari zaman dulu hingga sekarang. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Sport Hall Kridosono Yogyakarta 24 November 1973, lalu dilanjutkan di Gedung Merdeka Bandung 7 Desember 1973 dan di Istora Senayan Jakarta pada 15 Desember 1973.
Sebuah pementasan yang fenomenal dan eksperimental. Lakon teater yang pada masanya menciptakan bara tersendiri dalam jiwajiwa aktivis pergerakan mahasiswa di zamannya. Wajar jika pementasannya sempat mendapat perlawanan dan larangan dari penguasa waktu itu.
Ken Zuraida dalam pementasan ini juga cukup berhasil membangun suasana psikologis penonton akan kekuatan naskah Rendra lewat adeganadegan yang dimainkan. Pun dengan pembaruan set panggung yang terasa megah meski hanya dibentuk dari pilar-pilar semacam bangunan yang belum jadi.
Dan sungguh, dalam pertunjukkan kali ini, Ken Zuraida mampu membangunkan kembali naskah Rendra yang sempat tenggelam dan tak ada yang mementaskan lakon ini.
00.26 | 0
komentar | Read More