Sejauh mata memandang jalanan macet total. Dan kemacetan di jalan satu ini luar biasa sekali hingga puluhan kilometer. Kondisi tersebut terjadi di ruas jalan tol Tangerang, Banten, menuju Pelabuhan Merak, Banten. Panjang antrean di dalam tol bisa mencapai 20 kilometer.
Situasi seperti dialami truk pengangkut berbagai kebutuhan. Kendaraan ini hanya bisa bergerak dua meter lalu berhenti dan tak kunjung bergerak. Berjam-jam bahkan berhari-hari. Entah sampai kapan mereka harus menunggu.
Petugas Jasa Marga dibantu aparat berupaya mengalihkan kendaraan pribadi agar tidak terjebak antrean panjang. Sebagian kendaraan yang terlanjur terjebak mau tak mau terpaksa memutar balik kendaraannya.
Waktu dan tenaga terbuang percuma bahkan uang mereka pelan-pelan menipis bahkan habis untuk menunggu. Tak jarang surat-surat kendaraan terpaksa mereka gadai untuk menyambung hidup di tengah kemacetan. "Sudah habis," kata salah seorang sopir.
Situasi yang bisa dibilang genting. Gerah dengan kondisi ini emosi pun mulai terpicu. Akibatnya salah satu truk menjadi korban pelampiasan amarah. Aparat mencoba meredam kemarahan para sopir.
Memang tak semua truk antre terlalu lama. Prioritas diberikan pada truk yang membawa sembako, buah-buahan, dan ternak meski pemeriksaan isi angkutan tetap dilakukan.
Pengemudi truk bukanlah satu-satunya yang amat dirugikan akibat kemacetan ini. Para pemilik usaha di sepanjang Jalan Cikuasa, Merak, Banten yang dilewati antrean truk mengalami kerugian cukup besar. "Jika tidak macet bisa terjual 30.000 hingga sampai 40 ribu liter. Dengan adanya macet tidak sampai seribu liter yang terjual," kata Hajiji, karyawan SPBU.
Ditengah terpaan kerugian sejumlah pedagang justru meraup keuntungan dari kemacetan yang terjadi. Namun momen macet ini juga memunculkan rezeki yang tak halal bagi sejumlah orang. Pengurus adalah sebutannya. Merekalah yang bertugas sebagai perantara antara sopir dengan oknum petugas untuk memeperlancar perjalanan. Tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi dan pastinya ditukar sejumlah imbalan.
Pertigaan jalan raya Gerem, Kota Cilegon, dikenal dengan sebutan jalur bawah dan biasa digunakan sebagai jalur sembako. Di sini negosiasi kerap terjadi antara pengurus dengan oknum petugas karena lemahnya pengawasan. Fulus alias uang berpindah tangan, truk-pun bisa kembali melenggang.
Antrean panjang yang amat melelahkan ini tak hanya dirasakan oleh kendaraan besar. Penumpang juga ikut mengantre untuk mendapatkan tiket menyeberang.
Spekulasi mulai bermunculan, salah satunya kecelakaan kapal. Peristiwa nahas ini terjadi di antara Pulau Tempurung dan Sanghiyang, Selat Sunda. Kapal terbakar setelah berangkat sekitar tiga mil dari dermaga Pelabuhan Merak dengan tujuan Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
Akibat kejadian itu sebanyak 30 penumpang jadi korban. Banyaknya korban tewas diduga disebabkan minimnya alat keselamatan kapal. Pascaperistiwa itu KNKT mengeluarkan surat rekomendasi kepada kantor administrator pelabuhan atau Adpel guna meningkatkan pengawasan terhadap proses penerbitan surat persetujuan berlayar.
Akibatnya tak main-main. Dari 33 kapal feri yang terdaftar di jalur penyeberangan Merak-Bakahueni kini hanya 25 kapal yang masih beroperasi karena 8 kapal harus masuk galangan pada waktu hampir bersamaan. Alhasil kapal pengangkut berkurang drastis dan kendaraan pun menumpuk tak terangkut.
Namun seorang narasumber yang kerap berhubungan langsung dengan urusan perizinan kapal boleh berlayar memberikan keterangan yang cukup mengejutkan.
Dugaan kedua muncul terkait usia kapal yang sudah terlalu tua sehingga hanya mampu berlayar dengan kecepatan rata-rata dibawah 10 knot. Namun masih ada beberapa kapal yang mampu melaju diatas 10 knot.
Dirjen Perhubungan Darat memberikan pendapat berbeda seputar usia kapal. Namun pada praktiknya di lapangan kapal seringkali rusak sebelum waktunya karena tidak diperlakukan secara benar.
Problem tak bisa berlayarnya kapal ternyata tak melulu soal kelaikan kapal. Ini masih harus ditambah lagi dengan masalah kapasitas muatan yang berlebihan akibat lengahnya pengawasan pihak pelabuhan terhadap muatan kendaraan besar.
Persoalannya ternyata tak berhenti sampai disitu. Kondisi dermaga di Merak, Banten, dinilai tidak sesuai dengan standarisasi dermaga penyebrangan. Faktor ini dituding menjadi penyebab kapal lebih sering rusak.
PT ASDP bukannya tak berupaya mengatasi kemacetan dan juga penumpukan kendaraan di pelabuhan. Empat buah kapal diperbantukan di lintasan Merak-Bakauheni. Namun itu saja belum cukup. Dan terakhir keluhan kerap kali muncul jika menyangkut pengelolaan pelabuhan semisal sistem penjadwalan dermaga yang oleh beberapa pihak dianggap janggal.
Situasi seperti dialami truk pengangkut berbagai kebutuhan. Kendaraan ini hanya bisa bergerak dua meter lalu berhenti dan tak kunjung bergerak. Berjam-jam bahkan berhari-hari. Entah sampai kapan mereka harus menunggu.
Petugas Jasa Marga dibantu aparat berupaya mengalihkan kendaraan pribadi agar tidak terjebak antrean panjang. Sebagian kendaraan yang terlanjur terjebak mau tak mau terpaksa memutar balik kendaraannya.
Waktu dan tenaga terbuang percuma bahkan uang mereka pelan-pelan menipis bahkan habis untuk menunggu. Tak jarang surat-surat kendaraan terpaksa mereka gadai untuk menyambung hidup di tengah kemacetan. "Sudah habis," kata salah seorang sopir.
Situasi yang bisa dibilang genting. Gerah dengan kondisi ini emosi pun mulai terpicu. Akibatnya salah satu truk menjadi korban pelampiasan amarah. Aparat mencoba meredam kemarahan para sopir.
Memang tak semua truk antre terlalu lama. Prioritas diberikan pada truk yang membawa sembako, buah-buahan, dan ternak meski pemeriksaan isi angkutan tetap dilakukan.
Pengemudi truk bukanlah satu-satunya yang amat dirugikan akibat kemacetan ini. Para pemilik usaha di sepanjang Jalan Cikuasa, Merak, Banten yang dilewati antrean truk mengalami kerugian cukup besar. "Jika tidak macet bisa terjual 30.000 hingga sampai 40 ribu liter. Dengan adanya macet tidak sampai seribu liter yang terjual," kata Hajiji, karyawan SPBU.
Ditengah terpaan kerugian sejumlah pedagang justru meraup keuntungan dari kemacetan yang terjadi. Namun momen macet ini juga memunculkan rezeki yang tak halal bagi sejumlah orang. Pengurus adalah sebutannya. Merekalah yang bertugas sebagai perantara antara sopir dengan oknum petugas untuk memeperlancar perjalanan. Tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi dan pastinya ditukar sejumlah imbalan.
Pertigaan jalan raya Gerem, Kota Cilegon, dikenal dengan sebutan jalur bawah dan biasa digunakan sebagai jalur sembako. Di sini negosiasi kerap terjadi antara pengurus dengan oknum petugas karena lemahnya pengawasan. Fulus alias uang berpindah tangan, truk-pun bisa kembali melenggang.
Antrean panjang yang amat melelahkan ini tak hanya dirasakan oleh kendaraan besar. Penumpang juga ikut mengantre untuk mendapatkan tiket menyeberang.
Spekulasi mulai bermunculan, salah satunya kecelakaan kapal. Peristiwa nahas ini terjadi di antara Pulau Tempurung dan Sanghiyang, Selat Sunda. Kapal terbakar setelah berangkat sekitar tiga mil dari dermaga Pelabuhan Merak dengan tujuan Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
Akibat kejadian itu sebanyak 30 penumpang jadi korban. Banyaknya korban tewas diduga disebabkan minimnya alat keselamatan kapal. Pascaperistiwa itu KNKT mengeluarkan surat rekomendasi kepada kantor administrator pelabuhan atau Adpel guna meningkatkan pengawasan terhadap proses penerbitan surat persetujuan berlayar.
Akibatnya tak main-main. Dari 33 kapal feri yang terdaftar di jalur penyeberangan Merak-Bakahueni kini hanya 25 kapal yang masih beroperasi karena 8 kapal harus masuk galangan pada waktu hampir bersamaan. Alhasil kapal pengangkut berkurang drastis dan kendaraan pun menumpuk tak terangkut.
Namun seorang narasumber yang kerap berhubungan langsung dengan urusan perizinan kapal boleh berlayar memberikan keterangan yang cukup mengejutkan.
Dugaan kedua muncul terkait usia kapal yang sudah terlalu tua sehingga hanya mampu berlayar dengan kecepatan rata-rata dibawah 10 knot. Namun masih ada beberapa kapal yang mampu melaju diatas 10 knot.
Dirjen Perhubungan Darat memberikan pendapat berbeda seputar usia kapal. Namun pada praktiknya di lapangan kapal seringkali rusak sebelum waktunya karena tidak diperlakukan secara benar.
Problem tak bisa berlayarnya kapal ternyata tak melulu soal kelaikan kapal. Ini masih harus ditambah lagi dengan masalah kapasitas muatan yang berlebihan akibat lengahnya pengawasan pihak pelabuhan terhadap muatan kendaraan besar.
Persoalannya ternyata tak berhenti sampai disitu. Kondisi dermaga di Merak, Banten, dinilai tidak sesuai dengan standarisasi dermaga penyebrangan. Faktor ini dituding menjadi penyebab kapal lebih sering rusak.
PT ASDP bukannya tak berupaya mengatasi kemacetan dan juga penumpukan kendaraan di pelabuhan. Empat buah kapal diperbantukan di lintasan Merak-Bakauheni. Namun itu saja belum cukup. Dan terakhir keluhan kerap kali muncul jika menyangkut pengelolaan pelabuhan semisal sistem penjadwalan dermaga yang oleh beberapa pihak dianggap janggal.
1 komentar:
Memang sering macet bozz!! hahaha
Posting Komentar